0

TUGAS DASAR-DASAR ILMU TANAH JUDUL HISTOSOL (TANAH GAMBUT)

Ali Munandarby Ali Munandar / Jumat, 06 Februari 2009 / Posted in : ,




Tugas DDIT (I)

TUGAS DASAR-DASAR ILMU TANAH

HISTOSOL (TANAH GAMBUT)



Disusun oleh:
IDU YHAW AMIR P
0506111298





PROGRAM STUDI ILMU TANAH

JURUSAN BUDIDAYA PERTANIAN

FAKULTAS PERTANIAN

UNIVERSITAS RIAU

2008
BAB I

A. Latar Belakang

Tanah dibedakan dalam bentuk klasifikasi dan taksonomi. Dalam pembahasan ini dikenal dengan tata nama (unsure pembentukan nama ordo). Taksonomi tanah dikategorikan kedalam ; ordo, sub ordo, greatgroup, subgroup, family, dan seri.
Pada tema ini akan dibahas tentang; Potensi luasan daerah penyebaran Histosol khususnya di Riau dan Indonesia, proses pembentukan Histosol, sifat dan cirri Histosol, dan pengunaan Histosol.





















BAB II

A. Pengertian Histosol

Histosol (tanah organic) asal bahasa yunani histories artinya jaringan. Histosol sama halnya dengan tanah rawa, tanah organic dan gambut.
Histosol mempunyai kadar bahan organic sangat tinggi sampai kedalaman 80 cm (32 inches) kebanyakan adalah gambut (peat) yang tersusun atas sisa tanaman yang sedikit banyak terdekomposisi dan menyimpan air.
Jenis tanah Histosol merupakan tanah yang sangat kaya bahan organik keadaan kedalaman lebih dari 40 cm dari permukaan tanah. Umumnya tanah ini tergenang air dalam waktu lama sedangkan didaerah yang ada drainase atau dikeringkan ketebalan bahan organik akan mengalami penurunan (subsidence).
Bahan organik didalam tanah dibagi 3 macam berdasarkan tingkat kematangan yaitu fibrik, hemik dan saprik. Fibrik merupakan bahan organik yang tingkat kematangannya rendah sampai paling rendah (mentah) dimana bahan aslinya berupa sisa-sisa tumbuhan masih nampak jelas. Hemik mempunyai tingkat kematangan sedang sampai setengah matang, sedangkan sapri tingkat kematangan lanjut.
Dalam tingkat klasifikasi yang lebih rendah (Great Group) dijumpai tanah-tanah Trophemist dan Troposaprist. Penyebaran tanah ini berada pada daerah rawa belakangan dekat sungai, daerah yang dataran yang telah diusahakan sebagai areal perkebunan kelapa dan dibawah vegetasi Mangrove dan Nipah.
Secara umum definisi tanah gambut adalah:
“Tanah yang jenuh air dan tersusun dari bahan tanah organik, yaitu sisasisa tanaman dan jaringan tanaman yang melapuk dengan ketebalan lebih dari 50 cm. Dalam sistem klasifikasi baru (Taksonomi tanah), tanah gambut disebut sebagai Histosols (histos = jaringan ).”













Gambar 1. Gambaran umum penampang lahan gambut tropika (Ilustrasi: Triana)

Pada waktu lampau, kata yang umum digunakan untuk menerangkan tanah gambut adalah tanah rawang atau tanah merawang. Di wilayah yang memiliki empat musim, tanah gambut telah dikelompokan dengan lebih rinci. Padanan yang mengacu kepada tanah gambut tersebut adalah bog, fen, peatland atau moor.



















BAB III

A. Potensi Luas Histosol di Riau dan Indonesia

Indonesia memiiiki lahan gambut yang sangat luas, yaitu sekitar 21 juta hektar atau lebih dari 10% luas daratan Indonesia. Lahan gambut adalah merupakan salah satu sumber daya alam yang sangat penting dan memainkan peranan penting dalam perekonomian negara, diantaranya berupa ketersedian berbagai produk hutan berupa kayu maupun non-kayu. Disamping itu, lahanb ambut juga memberikan berbagai jasa lingkungan yang sangat penting bagi kehidupan masyarakat, diantaranya berupa pasokan air, pengendalian banjir serta berbagai manfaat lainnya. Hutan rawa gambut juga berperan sangat penting dalam hal penyimpanan karbon maupun sebagai pelabuhan bagi keanekaragaman hayati yang penting dan unik.
Menyusutnya luasan lahan gambut akan memberikan dampak sosial, ekonomi dan kesehatan yang dahsyat bagi penduduk Indonesia. Sebagai contoh, kebakaran hutan yang terjadi di lahan gambut tidak saja menimbulkan kerugian secara ekonomi akan tetapi juga telah menyebabkan ratusan ribu penduduk mengalami gangguan kesehatan pernapasan yang memerlukan penanganan yang seksama. Susutnya luasan lahan gambut atau berbagai kerusakan yang dialami juga akan menyebabkan berkurangnya fungsi penting mereka sebagai pemasok air, pengendali banjir serta pencegah intrusi air laut ke daratan.
Jika tak dilakukan langkah antisipasi pencegahan serta penanganan kerusakan dan hilangnya lahan gambut tersebut, maka bahaya dan kerugian yang ditimbulkan kemudian tidak hanya menerpa penduduk Indonesia saja, akan tetapi juga akan menimbulkan implikasi lingkungan dan sosial yang berskala regional bahkan global. Jika karbon yang terkandung dalam gambut kemudian dilepaskan maka akan secara siginifikan menambah kadar karbon di atmosfir. Tidak hanya berdampak secara langsung untuk manusia, kerusakan lahan gambut juga akan berakibat langsung terhadap kehidupan keanekaragaman hayati didalamnya, termasuk jenis-jenis penting, seperti Orang utan, sekitar 300 jenis ikan serta lebih dari 2.500 jenis tumbuhan (sekitar 20% diantaranya diketahui sebagai tanaman obat). Banyak diantara jenis-jenis tersebut yang diketahui sangat tergantung kepada dan hanya ditemukan di lahan gambut.
LAHAN GAMBUT DAN KETERGANTUNGAN MASYARAKAT LOKAL

Kondisi di lapangan menunjukan bahwa banyak sekali masyarakat Indonesia yang sangat bergantung kepada nilai dan fungsi yang dikandungoleh lahan gambut. Produk hutan rawa gambut dijadikan sebagai sandaran utama kehidupan masyarakat, baik berupa kayu ataupun non-kayu, seperti buah-buahan, rotan, tanaman obat, dan ikan. Sebagian lahan gambut yang dangkal atau berdekatan dengan lahan mineral kemudian dijadikan sebagai wilayah pertanian. Sayangnya, kegiatan pembangunan yang tidak terkendali acapkali menimbulkan dampak yang sangat buruk bagi lahan gambut, dan pada akhirnya berimbas pula pada kehidupan masyarakat lokal yang hidupnya bergantung pada keberadaan lahan gambut.
Pembukaan hutan gambut dalam skala besar hanya akan menyisakan kemiskinan bagi masyarakat, bukan saja karena hilang atau menipisnya sumber daya pencaharian mereka, tetapi juga karena masyarakat lokal harus mensubstitusi atau bahkan menyediakan upaya dan dana tambahan untuk menggantikan fungsi dan manfaat lahan gambut yang menurun atau bahkan hilang akibat kegiatan perusakan tersebut.

LUAS LAHAN GAMBUT DI INDONESIA

Berbagai literatur, baik yang diterbitkan di Indonesia maupun di luar negeri, menyebutkan bahwa Indonesia memiliki lahan gambut tropis yang paling luas. Sementara secara keseluruhan, lahan gambut di Kanada dan Rusia masih lebih luas dibandingkan dengan Indonesia.
Lahan gambut di kedua negara tersebut termasuk lahan gambuttemperate yang memiliki kandungan serta kharakteristik yang berbeda dengan lahan gambut tropis. Meskipun semuanya sepakat bahwa Indonesia memiliki lahan gambut tropis yang terluas, namun mengenai berapa luas yang sebenarnya, para pakar ternyata berbeda pendapat. Hal tersebut nampaknya menjadi kelaziman, karena sebagaimana halnya dengan tipe habitat lainnya, misalnya mangrove, penentuan luas tersebut seringkali berbeda bergantung kepada parameter serta definisi yang dipakai untuk menentukan luasan suatu tipe habitat tertentu.
Untuk memberikan sumbangan pengetahuan mengenai luas lahan gambut di Sumatra dan Kalimantan, Wetlands International – Indonesia Programme dengan dukungan dari Proyek CCFPI, telah melakukan survey dan perhitungan luas lahan gambut serta kandungan karbonnya di Sumatra, Kalimantan dan Papua. Perhitungan tersebut didasarkan kepada interpretasi.
Citra Satelit dengan menggunakan teknik penginderaan jarak jauh yang dikombinasikan dengan jajak lapangan (ground truthing) yang dilakukan di beberapa lokasi terpilih.
Berdasarkan survey dan perhitungan terakhir dari Wahyunto et.al. (2005) tersebut, diperkirakan luas lahan gambut di Indonesia adalah 20,6 juta hektar. Luas tersebut berarti sekitar 50% dari luas seluruh lahan gambut tropika atau sekitar 10,8% dari luas daratan Indonesia. Jika dilihat penyebarannya, lahan gambut sebagian besar terdapat di Sumatra (sekitar 35%), Kalimantan (sekitar 30%), Papua (sekitar 30%) dan Sulawesi (sekitar 3%).

Tabel 1. Perkiraan luas lahan gambut di Indonesia menurut beberapa sumber
Penulis/Sumber Penyebaran Gambut (Juta ha) Total
Sumatera Kalimantan Papua Lainnya
Driessen (1978) 9,7 6,3 0,1 - 16,1
Puslittanak (1981) 8,9 6,5 10,9 0,2 26,5
Euroconsult (1984) 6,84 4,93 5,46 - 17,2
Soekardi & Hidayat (1988) 4,5 9,3 4,6 0,4 20,1
Deptrans (1988) 6,4 5,4 3,1 - 14,9
Nugroho et.al. (1992) 6,9 6,4 4,2 0,3 17,8
Radjagukguk (1993) 4,8 6,1 2,5 0,1 13,5*
Dwiyono & Rachman (1996) 7,16 4,34 8,40 0,1 20,0

* tidak termasuk gambut yang berasosiasi dengan lahan salin dan lahan lebak (2,46 juta hektar)

Di Pulau Sumatera, luas total lahan gambut pada tahun 1990 adalah 7,2 juta hektar atau sekitar 14,9% dari luas daratan Pulau Sumatera, dengan penyebaran utama di sepanjang dataran rendah pantai timur, terutama di Propinsi Riau, Sumatra Selatan, Jambi, Sumatera Utara dan Lampung.
Dari luas tersebut, lahan yang tergolong sebagai tanah gambut, dimana ketebalannya > 50 cm., adalah seluas 6.876.372 ha. Sebagian besar diantaranya (3,461 juta - 48,1%) adalah berupa lahan gambut dengan kedalaman sedang (kedalaman antara 101 - 200 cm.) Gambut yang sangat dalam (kedalaman >400 cm.) menempati urutan terluas kedua seluas 2,225 juta ha. (30,9%). Meskipun luas total lahan gambut di Pulau Sumatera tidak berubah pada tahun 2002, namun jika dilihat dari komposisi kedalamannya telah mengalami perubahan, dimana yang tergolong sebagai tanah gambut (> 0,5 meter) telah mengalami penyusutan menjadi 6.521.388 ha. atau berkurang seluas 354.981 ha. (9,5%) dibandingkan dengan tahun 1990. Selain itu, gambut-sangat dalam juga berkurang luasnya menjadi 1,705 juta ha. (23,7%), sementara gambut-dangkal (ketebalan antara 50 - 100 cm.) luasnya justru bertambah dari 0,3777 juta ha. (5,2%) pada tahun 1990 menjadi 1,241 juta ha. (17,2%) pada tahun 2002.

Tabel 2. Luas sebaran lahan gambut dan kandungan karbon di Sumatra (1990 - 2002)
Sumatra (1990 - 2002)
1990 2002


Provinsi Luas Gambut (Ha) Kandungan Karbon
( juta ton ) Penyusunan Kandungan Karbon tahun 1960-2002
( juta ton )
1990 2002
Riau 4.043.601 16.851,23 14.605,04 2.246,23
Sumatera Selatan 1.483.662 1.798,72 1.470,28 328,43
Jambi 716.839 1.850,97 1.413,19 437.78
Sumatera Utara 325.295 560,65 377,28 183,37
NAD 274.051 561,47 458,86 102,61
Sumatera Barat 210.234 507,76 422,23 85,53
Lampung 87.567 60,33 35,94 24,39
Bengkulu 63.052 92,08 30,53 61,55

Sumber : Wahyunto et.al. 2005
Keterangan : * Didalamnya termasuk tanah mineral bergambut (kedalaman <50 cm) yang luasnya pada tahun 2002 sebesar 682.913 ha. dan pada tahun 1990 seluas 327.932 ha. Jika tanah mineral bergambut dianggap sebagai bukan tanah gambut,maka antara tahun 1990 sampai dengan tahun 2002 telah terjadi penurunan (hilangnya) luasan lahan gambut di Sumatra seluas 354.981 ha.

Angka kehilangan sebenarnya lebih terlihat pada menyusutnya kandungan karbon dalam gambut tersebut, dimana pada tahun 1990 kandungan karbon yang terdapat pada lahan gambut di seluruh Sumatra diperkirakan sebanyak 22.283 juta ton, yang kemudian menyusut menjadi 18.813 juta ton, atau kehilangan sebesar 3.470 juta ton dengan laju kehilangan ratarata per tahun sebesar 289,2 juta ton. Kehilangan karbon terbesar terjadi di gambut-sangat dalam, yaitu sebanyak 3.230 juta ton (93%).
Di Pulau Kalimantan, gambaran mengenai luasnya kehilangan lahan gambut tidak dapat dianalisa dengan baik karena tidak tersedianya data yang memadai pada kurun waktu tahun 1990.
Tabel 3. Luas sebaran gambut di Kalimantan berdasarkan kedalamannya (2002)


Propinsi Luas Gambut (ha) Kandungan Karbon
(Juta ton)
Kalimantan Barat 1.729.980 3.625,19
Kalimantan Tengah 3.010.640 6.351,52
Kalimantan Timur 696.997 1.211,91
Kaimantan Selatan 331.629 85,94
KALIMANTAN 5.769.246 11.274,55

Sumber: Wahyunto et.al. 2005

Berdasarkan analisa penginderaan jarak jauh, diperoleh gambaran bahwa luas lahan gambut di Pulau Kalimantan pada tahun 2000 - 2002 adalah 5.769.246 ha. Sebagian besar terdapat di Kalimantan Tengah (52,28%) dan Kalimantan Barat (29,99%). Jika dilihat dari tingkat kedalamannya, maka yang paling luas adalah gambut-dangkal (50 - 100 cm.) seluas 1.740.584 ha. (30,17%) dan gambut-sedang (100 - 200 cm.) seluas1.390.787 ha. (24,11%). Sementara itu, gambut-dalam sekali (> 800 cm) luasnya 277.694 ha. (4.81%). Lahan gambut di Kalimantan tersebut diperkirakan mengandung karbon sejumlah 11.274,55 juta ton, Propinsi Luas Gambut (ha) dimana kandungan yang paling tinggi (47,97%) terdapat di gambut-sangatdalam.
Disamping itu, meskipun gambut -dalam-sekali luasnya paling kecil tetapi memiliki kandungan karbon kedua terbesar sejumlah 19,04% Menyusutnya luasan gambut secara keseluruhan serta menyusutnya luasan gambut yang lebih dalam, yang kemudian berimbas kepada menyusutnya kandungan karbon di dalamnya, dipercayai merupakan akibat dari berbagai kegiatan yang terkait dengan berbagai aktifitas
manusia.
Beberapa kegiatan terkait, diantaranya:
• Alih fungsi lahan gambut menjadi lahan budi daya yang dilaksanakan secara intensif, seperti sawah dan areal pertanian lainnya.
• Pembukaan lahan gambut untuk dijadikan areal perkebunan, diantaranya yang paling umum adalah perkebunan sawit dan HTI.
• Sistem drainase yang mengakibatkan pemadatan dan mempercepat terjadinya oksidasi atau dekomposisi bahan organic.
• Penurunan ketebalan gambut akibat pembakaran atau pengeringan.
• Hilangnya air di lahan gambut akibat pembuatan saluran/parit, sehingga gambut menjadi mudah terbakar atau mengalami subsiden.

LAHAN GAMBUT DI KALIMANTAN TENGAH

Masyarakat di Kalimantan Tengah sebagian diantaranya tinggal di rumah yang dibangun disepanjang aliran sungai. Sebagaimana masyarakat Indonesia lainnya yang hidup di sepanjang sungai dan sekitar hutan, sebagian masyarakat di Kalimantan Tengah juga secara turun temurun sangat menggantungkan kehidupannya pada ketersediaan sumber daya alam di sekitar tempat mereka tinggal. Mereka juga terbiasa untuk menanam berbagai jenis tanaman, seperti rotan dan jenis-jenis tanaman buah-buahan di lahan adat mereka.
Hutan rawa gambut dengan sistem tata airnya yang unik juga menyediakan sumber daya hayati lain, yaitu berupa ikan, yang sebagian diantaranya hanya bisa ditemukan di perairan gambut. Untuk memperoleh ikan, masyarakat Kalimantan Tengah biasanya membuat sistem tata air serupa kolam panjang di dekat atau dalam hutan, yang biasa disebut sebagai beje, sedemikian rupa sehingga dapat memerangkap ikan yang terbawa pada saat air melimpah. Berbagai kegiatan yang dilakukan oleh masyarakat lokal sebenarnya memberikan pengaruh yang tidak terlalu besar bagi ekosistem gambut, sepanjang kegiatan tersebut hanya untuk memenuhi kebutuhan domestik mereka.
Sayangnya, ekosistem gambut di Kalimantan Tengah menjadi sangat terancam ketika kegiatan penggundulan hutan skala besar mulai dilakukan, termasuk diantaranya ketika pemerintah memutuskan untuk membuka lahan gambut seluas lebih dari satu juta hektar. Kegiatan yang kemudian dikenal sebagai Proyek Pengembangan Lahan Gambut (PLG) tersebut dimulai pada tahun 1996 dengan ide dasar untuk mengkonversikan lahan gambut tersebut menjadi areal persawahan.
Dalam pelaksanaannya, proyek PLG kemudian juga membuka lahan gambut-dalam dan sangat-dalam yang sangat rentan terhadap gangguan dengan cara membuat saluran sepanjang sekitar 4.500 km. Tujuan utama pembuatan saluran tersebut adalah untuk keperluan penyediaan air pada saat musim kemarau serta membuang air berlebih pada musim hujan. Tujuan tersebut boleh dikatakan gagal karena alih-alih mengatur tata air, saluran tersebut justru membuang air dari lahan gambut dan dengan demikian menghilangkan karakteristik gambut sebagai penyimpan air.
Hanya dalam dua tahun kekeliruan tersebut sudah mulai terlihat, dimana beberapa saluran sudah mulai kering dan pematang saluran runtuh. Meskipun beberapa saluran masih digunakan sebagai sarana transportasi, tetapi sebagian besar ekosistem sudah rusak, kayu telah ditebangi serta lahan gambut menjadi kering dan sangat mudah terbakar. Salah satu pihak yang paling merasakan akibat dari kondisi lahan dan hutan rawa yang telah rusak tersebut adalah masyarakat lokal. Mereka kehilangan sumber daya alam yang sebelumnya dapat menunjang kehidupan sehari-hari sehingga kehidupan masyarakat, baik penduduk asli maupun transmigran, menjadi serba sulit. Hal ini tentu saja sangat bertolak belakang dengan tujuan awal dari proyek PLG yang konon diperuntukan untuk kesejahteraan masyarakat.

LAHAN GAMBUT DI SUMATRA SELATAN DAN JAMBI

Ekosistem lahan basah di kawasan Taman Nasional Berbak (Jambi) dan Taman Nasional Sembilang (Sumatra Selatan) mencakup sekitar 350.000 hektar, yang terdiri dari hutan rawa gambut, hutan rawa air tawar dan mangrove. Keduanya merupakan salah satu kesatuan ekosistem lahan basah yang paling penting di Asia Tenggara. Di bagin utara dari kesatuan ekosistem tersebut adalah Taman Nasional Berbak, yang pada tahun 1991 diikrarkan sebagai situs Ramsar pertama di Indonesia. Sementara itu, di bagian selatan merupakan kawasan Taman Nasional Sembilang, Sumatra Selatan.
Kedua Taman Nasional tersebut serta sebagian mintakat penyangganya, termasuk hutan rawa gambut Merang Kepayang, merupakan perwakilan dari hutan rawa gambut alami yang masih tersisa di Sumatra dan penyimpan karbon yang sangat penting. Lebih dari itu, masyarakat yang tinggal di mintakat penyangga juga sangat bergantung kepada keberadaan dan jasa lingkungan yang disediakan oleh hutan rawa gambut tersebut.
Kelestarian hutan rawa gambut akan sangat terkait dengan pengembangan strategi pemanfaatan sumber daya hutan rawa gambut yang berkelanjutan, karena kelestarian mereka juga terancam oleh semakin berkembangnya kegiatan pertanian yang disertai dengan pengeringan dan pembakaran hutan rawa gambut.
ISU PENGELOLAAN

Selama dekade terakhir ini banyak areal lahan gambut yang telah dibukauntuk berbagai kepentingan, utamanya untuk kegiatan pertanian dan perkebunan. Dalam skala yang lebih kecil, kegiatan pertanian dilaksanakan melalui program penempatan transmigran di wilayah lahan gambut, khususnya di Sumatra dan Kalimantan, sementara dalam skala yang lebih besar, pembukaan lahan gambut ditujukan untuk mengambil tegakan kayu diatasnya serta untuk keperluan pengembangan perkebunan, terutama Kelapa sawit. Tidak sedikit kegiatan pembukaan tersebut lebih dilatarbelakangi oleh kepentingan ekonomi jangka pendek dan mengalahkan pertimbangan lingkungan yang bernuansa kepentingan jangka panjang untuk lebih banyak masyarakat, sehingga yang kemudian dihasilkan adalah sejumlah kegagalan dan kerugian bagi negara dan masyarakat, tetapi mendatangkan keuntungan besar bagi pengembang yang dihasilkan dari ekstraksi tegakan kayu diatasnya.
Tak kurang upaya pemerintah maupun pihak lainnya untuk mengurangi dampak buruk jangka panjang dari pengembangan di lahan gambut, termasuk yang terkait dengan isu perubahan lingkungan. Namun pada saat yang sama, tak kurang pula kebijakan pemerintah yang diiringi dengan ketidakberdayaan penegakan hukum dan ketidakpedulian masyarakat yang kemudian memacu kerusakan dalam jangka panjang.
Memang tidak selalu mudah untuk membagi perhatian antara kepentingan ekonomi dan kepentingan lingkungan, terutama pada saat Indonesia berada dalam kondisi sangat membutuhkan investasi dan penggerak roda pembangunan, meskipun pada saat yang sama Indonesia telah menyatakan untuk mengadopsi konsep pembangunan berkelanjutan.



ISU LAHAN GAMBUT DAN PERUBAHAN IKLIM

Kepentingan lahan gambut di Indonesia dapat dikaitkan dengan perannyasebagai penangkap dan penyimpan karbon. Dengan penghitungan konservatif luas lahan gambut Indonesia seluas 16 juta hektar, dan diasumsikan rata-rata kedalamannya 5 meter, maka Murdiyarsoetal (2003) memperkirakan bahwa cadangan karbon yang disimpan di gambut adalah sekitar 16 Giga Ton. Dalam kondisi alami, tanpa adanya gangguan yang signifikan, CO2 akan disimpan sebagai cadangan karbon organic dalam biomassa yang tersimpan di lahan gambut, sehingga akan sangat bermanfaat dalam menahan emisi gas rumah kaca ke atmosfir. Namun kebalikannya, dalam kondisi dimana pembukaan lahan gambut dan drainase berlebihan maka justru lahan gambut Indonesia kemudian akan memberikan sumbangan emisi gas rumah kaca yang signifikan. Berbagai penelitian telah menunjukan hal tersebut sebagai kenyataan yang telah terjadi.
Komunikasi Nasional Pertama Indonesia yang ditujukan kepadaUNFCCC, diterbitkan pada tahun 1999, menunjukan bahwa CO2 adalah merupakan emisi gas rumah kaca yang utama di Indonesia, sekitar 83% dari emisi setara CO2. Pada tahun 1994, sektor LULUCF bertanggung jawab terhadap 63% sumber emisi CO2 (Pelangi 2001), suatu peningkatan yang cukup signifikan dibandingkan dengan kondisi serupa pada tahun1990, sebesar 48% (Pelangi 2000). Salah satu penyebab utama dari pelepasan karbon pada sektor tersebut adalah adanya pembukaan hutan (termasuk hutan gambut) untuk berbagai keperluan, utamanya pertanian dan perkebunan. Lahan dan hutan gambut yang telah dibuka dan didrainase kemudian akan mengalami subsiden serta kekeringan, yang akan sangat rentan terhadap kebakaran hutan dan lahan, karena melepaskan karbon ke atmosfir sehingga menimbulkan apa yang disebut efek gas rumah kaca, yang memicu perubahan iklim global.
Suatu studi menunjukan bahwa kebakaran hutan dan lahan pada tahun 1997/1998 telah menghanguskan lebih dari 1,45 juta hektar lahan gambut di seluruh Indonesia. Kebakaran tersebut tidak saja telah melepaskan sekitar 0,81 – 2,57 GtC (Page et.al. 2002), tapi juga diidentifiksi sebagai sumber utama penyebaran asap di lingkup regional Asia Tenggara, sehingga mengakibatkan kerugian lebih dari AS $ 9 milyar dan mempengaruhi kehidupan lebih dari 75 juta orang (Bappenas 1999).
Laporan menyampaikan bahwa enam dari tujuh wilayah yang rawan terbakar di Sumatra berada di lahan gambut (Anderson and Bowen 2000). Meskipun Indonesia telah mengambil langkah untuk mencegah dan menangani kebakaran, namun hal tersebut masih belum mencukupi, terbukti dengan masih terjadinya kebakaran di berbagai lokasi, yang sebenarnya sudah menjadi langganan terbakar setiap tahunnya. Di tingkat global, meskipun telah tersedia berbagai data hasil penelitian, peranan lahan gambut sebagai salah satu sumber emisi gas rumah kaca belum juga memperoleh perhatian secara institusional.
Meskipun negara-negara ASEAN telah mengambil langkah institusional, tetapi UNFCCC, misalnya, masih belum memasukan hal tersebut sebagai salah satu isu perubahan iklim yang penting. Kondisi tersebut sebetulnya sangat memprihatinkan karena Indonesia sangat memerlukan komitmen dan kewajiban negara lain untuk turut mengatasi permasalahn kebakaran yang telah menyangkut hajat hidup manusia secara global.

EKSPLOITASI LAHAN GAMBUT

Selama lebih dari 30 tahun terakhir ini hutan rawa gambut telah mengalami pembalakan, pengeringan dan perusakan dahsyat akibat adanya berbagai kegiatan pertanian dan kehutanan yang tidak berkelanjutan. Kegiatan pembalakan, baik resmi maupun liar, seringkali melibatkan pengeringan gambut selama proses ektraksinya. Celakanya, meskipun sebagian besar tanah gambut (khususnya yang memiliki kedalaman lebih dari 2 meter) sebenarnya merupakan lahan marjinal yang tidak layak untuk kegiatan pertanian, namun kenyataannya banyak juga yang telah dibuka dan dikembangkan untuk pertanian dan perkebunan, khususnya untuk kelapa sawit, kayu bahan bubur kertas, padi serta komoditi pertanian lainnya. Tak heran jika banyak diantaranya yang kemudian berujung pada kegagalan dan akhirnya ditelantarkan.




KEBAKARAN DI LAHAN GAMBUT

Pada kondisi alaminya yang basah, lahan gambut sebenarnya sangat sulit untuk mengalami kebakaran. Kondisi di lapangan menunjukan bahwa kebakaran hanya terjadi pada lahan gambut yang telah mengalami pengeringan atau pada kondisi musim yang benar-benar kering. Selama 10 tahun terakhir, sekitar 2,5 juta hektar lahan gambut di Asia Tenggara, sebagian besar terdapat di Indonesia, telah terbakar dan melepaskan 2 – 3 milyar ton karbon ke atmosfir, menyelimuti wilayah Asia Tenggara dengan asap pekat. Kebakaran yang berasal dari lahan pertanian dan perkebunan di lahan gambut tersebut tidak saja meninmbulkan kerugian ekonomi, tapi juga kerugian kesehatan yang sangat menyengsarakan masyarakat, terutama di sekitar lokasi kebakaran. Terkait dengan kerugian ekonomi, gangguan terhadap industri perikanan, turisme, penerbangan dan dana yang dikeluarkan untuk mengatasi dampak kebakaran yang terjadi antara bulan Agustus hingga Oktober 1997 diperkirakan mencapai 300 juta dollar Amerika di Malaysia saja. Sementara itu, kerugian di seluruh wilayah Asia Tenggara akibat kebakaran pada tahun 1997 – 1998 diperkirakan mencapai 9 milyar dollar Amerika. Pada kurun waktu tahun 1997 – 1998 tersebut, kebakaran hampir selalu terjadi di wilayah yang mengalami kekeringan lebih dari 2 – 3 minggu.



























Gambar 2. Kebakaran lahan gambut di Kalimantan Tengah (Foto: Yus Rusila Noor)




Histosol (histos, jaringan tanaman, solum, tanah). Bahan organik yang didekomposisi dari jaringan tanaman pada umumnya membentuk tanah ini. Berdasarkan Soepraptohardjo (1961a; 1961b). Organosols termasuk dalam tipe ini. Jenis tanah ini lebih popular disebut tanah gambut. Mereka kebanyakan ditemukan di Riau, Sumatera (3.87 juta ha), Irian Jaya (3.3 juta), Kalimantan Tengah (1.99 juta), Kalimantan Barat (1.70 juta ha) dan Sumatera Selatan (1.45 juta ha).
B. Proses Pembentukan Histosol

Gambut terbentuk akibat proses dekomposisi bahan-bahan organik tumbuhan yang terjadi secara anaerob dengan laju akumulasi bahan organik lebih tinggi dibandingkan laju dekomposisinya. Akumulasi gambut umumnya akan membentuk lahan gambut pada lingkungan jenuh atau tergenang air, atau pada kondisi yang menyebabkan aktivitas mikroorganisme terhambat. Vegetasi pembentuk gambut umumnya sangat adaptif pada lingkungan anaerob atau tergenang, seperti bakau (mangrove), rumput-rumput rawa dan hutan air tawar.
Di daerah pantai dan dataran rendah, akumulasi bahan organik akan membentuk gambut ombrogen di atas gambut topogen dengan hamparan yang berbentuk kubah (dome). Gambut ombrogen terbentuk dari vegetasi hutan yang berlangsung selama ribuan tahun dengan ketebalan hingga puluhan meter. Gambut tersebut terbentuk dari vegetasi rawa yang sepenuhnya tergantung pada input unsur hara dari air hujan dan bukan dari tanah mineral di bawah atau dari rembesan air tanah, sehingga tanahnya menjadi miskin hara dan bersifat masam.

C. Sifat dan ciri Histosol

Sifat tanah gambut berbeda dengan tanah mineral lainnya dan untuk menanam/membuka lahan seperti ini memerlukan tindakan pengelolaan khusus.

Sifat tanah gambut antara lain :

Kandungan bahan organic yang tinggi karena tanah berasal dari sisa tanaman mati dalam keadaan penggenanangan permanent. Berat isi pada (bulk dencity) sangat rendah sehingga dalam keadaan kering kosentrasinya sangat lepas kadar hara makro tidak seimbang dengan kadar hara mikro yang sangat rendah. Daya menahan air sangat besar dan jika mengalami kekeringan, tanah mengalami pengerutan(irreversible shringkage). Jika dilakukan pembuangan air(drainase) permukaan tanah akan mengalami penurunan(soil subsidence).
Sifat khusus Histosol tergantung pada sifat vegetasi yang diendapkan di dalam air dan tingkat pembususkan. Di dalam air yang relative dalam, sisa-sisa ganggang dan tumbuhan air lainnya menimbulkan bahan koloid yang sangat mengerut bila kering.
Sementara danau secara berangsur-angsur penuh, rumput, padi liar, lili air dan tumbuhan-tumbuhan ini yang sebagian membusuk, berlendir dan bersifat koloid.

D. Penggunaan Histosol (Lahan Gambut)

Di negara-negara bagian sebelah utara, tanah Histosol ini digunakan untuk menghasilkan bawang, seledri, mint, kentang, kol, kranberi, wortel, dan tanaman umbi lainnya. Sedangkan di Indonesia sendiri tanah histosol digunakan untuk menghasilkan nenas dan lidah buaya.



















BAB IV
DAFTAR PUSTAKA


Anonin. 2006 Histosol. http://bbsdlp.litbang.deptan.go.id/index.php?option=com_content &task= view&id=13&Itemid=73. Diakses pada tanggal 13 september 2008.
Darmawijaya, isa. M, 1990, Klasifikasi Tanah. Yogyakarta; Gadjahmada University Press.
Noor Y. R. dan J. Heyde. 2007. Pengelolaan Lahan Gambut Berbasis Masyarakat di Indonesia. Perpustakaan Nasional: Katalog Dalam Terbitan (KDT). Indonesia
Sanchez, A. Pedro, 1992, Sifat dan pengelolaan tanah Tropika. Bandung; ITB Bandung. Foth, henry. D, 1994, Dasar-dasar Ilmu Tanah. Jakarta; Erlangga


Advertise here: buy a permalink on this post

Ali Munandar Ali Munandar is an indonesian programmer, blogger, Windows user, founder of speechyourm1nd.blogspot.com. He lives in Bandung, Indonesia. Follow Ocim on Twitter or take a look at his Facebook Profile.
Related Contents Sponsors

Posted by ali in Speechyourm1nd , at Jumat, 06 Februari 2009

Tags: ,

comments

Leave a comment then Subscribe via the feed or via email.

L

Sponsored

Blog Archive

happy readers. Subscribe

Facebook Contact Us Twitter Delicious